Headline
Health & Fitness
CIMAHI-HORAS NEWS.COM || Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Melalui pemilu setiap warga Negara dapat menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin bagi daerahnya maupun bagi negaranya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD.Diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pemilu seringkali di identikan sebagai pesta rakyat, namun demikian pada hakikatnya pemilu merupakan salah satu cara atau alat guna meraih kekuasaan yang dilegalkan oleh undang-undang. Sehingga seringkali para peserta melakukan berbagai macam cara guna meraih kekuasaan tersebut. Tidak jarang pula upayaupaya tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti black campaign hingga money politic.
Dewasa ini, perkembangan media sosial di dunia termasuk Indonesia sangatlah pesat. Dan tidak dapat dipungkiri setiap orang Indonesia saat ini begitu gemar berselancar di media sosial. Media social ini tentu memiliki dampak positif dan negatif, dimana salah satu dampak positifnya adalah mudah dan cepatnya seseorang dalam mendapatkan informasi. Disisi lain salah satu dampak negatif darimedia sosial ialah seringkali digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk menyebarkan berita-berita bohong/hoax serta isu SARA. Sehingga dapat menimbulkan perselisihan diantara masyarakat.
Selanjutnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) merupakan bagian dari penyelenggara pemilu.
Sebagai lembaga penyelenggara, tentunya KPU dan Bawaslu harus mampu bersikap objektif dalam setiap melaksanakan tugasnya. Selain itu kedua lembaga ini pun harus mampu menjadi motor penggerak utama dalam hal mensosialisasikan dan mewujudkan pemilu yang bersih dari hoax, dan meminimalisir ujaran kebencian, isu SARA serta money politik.
Dalam mewujudkan hal tersebut tentunya harus mendapatkan dukungan dari berbagai elemen maupun stakeholder terkait, baik itu dari pemerintah, partai politik, maupun partisipasi aktif dari masyarakat.
Misalnya, Partai politik selain sebagai peserta dalam pemilu, juga dapat berperan sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Hayer (dalam Kartono, 2009, hlm.64) menjelaskan bahwa “pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik”. Pendidikan politik diartikan sebagai pendidikan yang mewajibkan warga negara mengenali hak dan kewajiban agar masyarakat tahu tentang moral.
Dari pendapat diatas mengindikasikan bahwa pendidikan politik secara umum mempunyai makna yakni usaha untuk mengantarkan sebuah komunitas masyarakat baik itu komunitas intelek maupun komunitas politik agar menjadi semakin dewasa dan tertib dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain menjadikan warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab (civic responsibility).Kemudian peran serta masyarakat atau partisipasi masyarakat dalam pemilu pun menjadi penting mengingat setiap warga Negara yang telah memiliki hak untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu dapat menjadi penentu siapa saja yang berhak menjadi wakil mereka di pemerintahan. Rush dan Althoff (2011, hlm.23) menjelaskan bahwa, “partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik”.
Menuju Pemilu 2024 Yang Riang Gembira
Menuju Pemilu 2024 Yang Riang Gembira
Oleh Anzhar Ishal A, M.Pd
Komisioner Panwaslu Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi
CIMAHI-HORAS NEWS.COM || Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Melalui pemilu setiap warga Negara dapat menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin bagi daerahnya maupun bagi negaranya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD.Diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pemilu seringkali di identikan sebagai pesta rakyat, namun demikian pada hakikatnya pemilu merupakan salah satu cara atau alat guna meraih kekuasaan yang dilegalkan oleh undang-undang. Sehingga seringkali para peserta melakukan berbagai macam cara guna meraih kekuasaan tersebut. Tidak jarang pula upayaupaya tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti black campaign hingga money politic.
Dewasa ini, perkembangan media sosial di dunia termasuk Indonesia sangatlah pesat. Dan tidak dapat dipungkiri setiap orang Indonesia saat ini begitu gemar berselancar di media sosial. Media social ini tentu memiliki dampak positif dan negatif, dimana salah satu dampak positifnya adalah mudah dan cepatnya seseorang dalam mendapatkan informasi. Disisi lain salah satu dampak negatif darimedia sosial ialah seringkali digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk menyebarkan berita-berita bohong/hoax serta isu SARA. Sehingga dapat menimbulkan perselisihan diantara masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bersama di pemilu tahun 2019 isu SARA ini menjadi salah satu isu paling trend/hit di masa itu. Dan efeknya pun masih terasa hingga saat ini. Dimana seolah-olah masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu. Padahal sejatinya pemilu merupakan sarana perwujudan dari kedaulatan rakyat.Seperti yang diungkapkan oleh Budiardjo (2007) menyatakan bahwa kedaulatan adalah suatu kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang betujuan untuk membuat Undang-Undang dan mengatur bagaimana pelaksanaan atau penerapan dari Undang-Undang yang telah dibuat. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pemilu merupakan wujud dari kedaulatan rakyat itu sendiri.
Selanjutnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) merupakan bagian dari penyelenggara pemilu.
Kedua lembaga ini tentunya memiliki peran penting dalam pelaksanaan dan perwujudan pemilu yang langsung, umum, bebas, jujur, dan adil.
Sebagai lembaga penyelenggara, tentunya KPU dan Bawaslu harus mampu bersikap objektif dalam setiap melaksanakan tugasnya. Selain itu kedua lembaga ini pun harus mampu menjadi motor penggerak utama dalam hal mensosialisasikan dan mewujudkan pemilu yang bersih dari hoax, dan meminimalisir ujaran kebencian, isu SARA serta money politik.
Dalam mewujudkan hal tersebut tentunya harus mendapatkan dukungan dari berbagai elemen maupun stakeholder terkait, baik itu dari pemerintah, partai politik, maupun partisipasi aktif dari masyarakat.
Misalnya, Partai politik selain sebagai peserta dalam pemilu, juga dapat berperan sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Hayer (dalam Kartono, 2009, hlm.64) menjelaskan bahwa “pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik”. Pendidikan politik diartikan sebagai pendidikan yang mewajibkan warga negara mengenali hak dan kewajiban agar masyarakat tahu tentang moral.
Dari sini dapat kita lihat bahwa proses pendidikan politik adalah proses pendewasaan individu dalam berpolitik.Dalam hal ini kartono (dalam Sadel; dkk, 2009, hlm.13) memberikan penjelasan tentang pendidikan politik sebagai berikut:
Bentuk pendidikan bagi orang dewasa dengan jalan menyiapkan kaderkader untuk pertarungan dan mendapatkan penyelesaian politik, agar menang dalam perjuangan politik.Pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis dalam mencapai tujuan politik.
Dari pendapat diatas mengindikasikan bahwa pendidikan politik secara umum mempunyai makna yakni usaha untuk mengantarkan sebuah komunitas masyarakat baik itu komunitas intelek maupun komunitas politik agar menjadi semakin dewasa dan tertib dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain menjadikan warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab (civic responsibility).Kemudian peran serta masyarakat atau partisipasi masyarakat dalam pemilu pun menjadi penting mengingat setiap warga Negara yang telah memiliki hak untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu dapat menjadi penentu siapa saja yang berhak menjadi wakil mereka di pemerintahan. Rush dan Althoff (2011, hlm.23) menjelaskan bahwa, “partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik”.
Di negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang kemudian dilaksanakan secara bersama-sama untuk menetapkan tujuan-tujuan masyarakat itu serta untuk menentukan orang-orang yang akan menjadi pemimpin di masyarakat tersebut.
Setiap anggota masyarakat yang ikut serta dalam proses politik, misalnya dalam kegiatan pemilihan umum atau pemberian suara, setiap individu secara sadar terdorong oleh keyakinan bahwa kegiatan tersebut dapat menyalurkan aspirasi atau kepentingannya dan sedikitnya mampu mempengaruhi pihak-pihak yang berwenang untuk membuat keputusan akan sesuai dengan apa yang di butuhkan oleh masyarakat.
Sehingga apabila ketiga elemen tersebut dalam hal ini penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat saling bergotong royong menjalankan peran serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing, maka mewujudkan pemilu 2024 yang riang gembira bukanlah sesuatu hal yang utopis.***
Via
Headline
Posting Komentar